Jumat, 25 Oktober 2019



Partisipasi Kerja dan Keterwakilan Politik Perempuan sebagai Satu Kesatuan dalam Upaya peningkatan Kesejahteraan
Indonesia pada era reformasi sangat menjunjung tinggi sistem demokrasi. Secara progresif, demokrasi merupakan batasan kekuasaan pemerintah dengan mengembalikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat. Hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bernegara menekankan pada kekuasaan berada di tangan rakyat, yang meliputi tiga hal yaitu (1) pemerintahan dari rakyat (government of the people), (2) pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan (3) pemerintahan untuk rakyat (government for the people). Namun, lupakan definisi-definisi demokrasi yang hingga saat ini pelaksanaannya hanyalah fiktif belaka. Secara sederhana, sistem demokrasi dapat terwujud apabila kita turut andil dalam mengendalikan dan memutuskan kebijakan-kebijakan publik yang berlaku, baik dengan menyampaikan secara langsung atau representasi dari kelompok masyarakat kita, demi terwujudnya kesejahteraan di antara kelas atau kelompok-kelompok sosial yang ada.
Budiardjo dalam bukunya dasar-dasar ilmu politik mengemukakan ada tiga tujuan utama bangsa, yaitu (1) tujuan politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mewujudkan demokratisasi politik, (2) tujuan administratif yaitu untuk pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah, seperti sumber keuangan serta manajemen birokrasi yang diwujudkan melalui otonomi daerah, dan (3) tujuan ekonomi yaitu peningkatan indeks pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang diwujudkan melalui hak otonomi daerah.
Untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan yang demokraktik, keputusan atau kebijakan publik harus inklusif dari aspirasi seluruh golongan atau kelompok-kelompok sosial yang ada, hal ini didasarkan atas perbedaan kebutuhan dan perbedaan cara untuk tersejahterahkan. Undang-undang Dasar 1945, dalam penggalan pasal 27 ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya,” memiliki arti negara memberikan kebebasan dan kesempatan yang sama dan adil di mata hukum terhadap masyarakat dalam pemerintahan. Untuk mencapai keadilan, kebijakan yang dibentuk harus menyentuh semua kelompok sosial yang ada, sehingga perlu adanya partisipasi kerja dimana perwakilan mampu menyampaikan aspirasi kelompok sosialnya, melalui representasi dari setiap kelompok sosialnya. Namun dalam realitas saat ini, kita bisa melihat bagaimana ketidakseimbangan kuasa dalam memutuskan kebijakan publik yang hanya berasal dari kelas atau kalangan tertentu. Salah satu ketidakseimbangan kuasa yang nyata adalah ketidaksetaraan yang melibatkan posisi dan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki dalam dunia politik.
Berbicara demokrasi, menjadi masalah struktural yang kita temui ketika mengatakan kekuasaan berada di tangan rakyat, sementara fakta yang terjadi adalah adanya ketidaksetaraan atau ketidakseimbangan relasi kuasa seperti ketidaksetaraan terhadap perempuan. Bahasan relasi gender dalam dunia politik menjadi suatu masalah penting  dan sangat fundamental yang harus menjadi perhatian. Dalam dunia politik, permasalahan ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dinilai sangat jauh dari kesetaraan. Proses politik seakan memiliki hijab pembatas bagi perempuan yang ingin terlibat di dalamnya.
Hijab yang menjadi sekat antara laki-laki dan perempuan dalam dunia politik, dapat kita lihat pada representasi politik perempuan yang berdampak pada partisipasi kerja perempuan untuk ikut serta menentukan kebijakan. Sejak era reformasi hingga  saat ini, representasi tertinggi mencapai 18,03% saja. Angka tersebut merupakan persentasi yang sangat tidak berimbang jika melihat jumlah penduduk perempuan yang ada di Indonesia.
Menurut data BPS pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.556.363 orang, jumlah perempuan sebanyak 118.048.783 orang, yang hampir berimbang dengan populasi laki-laki berjumlah 119.556.580. Dengan jumlah penduduk yang demikian, tentunya terdiri dari berbagai kelompok atau kelas sosial yang berbeda-beda, dan memiliki perbedaan kebutuhan juga perbedaan aspirasi yang harus tersampaikan. Representasi masing-masing kelompok mestinya dimaksimalkan keberadaannya. Namun nyatanya, representasi perempuan masih jauh dari persentasi minimum yang diharapkan. Tataran DPR RI saja, bisa kita lihat persentasi keterwakilan perempuan dalam dunia politik sejak tahun 1955 hingga 2004, dimana persentasi tertinggi hanya mencapai 18,03% pada periode jabatan 2009-2014 (sumber:www.kpu.go.id).
Kurangnya representasi perempuan dalam dunia politik disebabkan oleh dua faktor, pertama faktor internal berupa kurangnya motivasi diri untuk ikut serta dalam dunia politik, kurangnya dukungan dari keluarga, dan rendahnya tingkat finansial. Kedua, faktor eksternal yaitu kebijakan partai-partai politik dan sistem pemilihan umum. Selain itu, kentalnya budaya patriarki yang masih terasa dengan adanya persepsi yang menganggap bahwa perempuan hanya pantas menjadi ibu rumah tangga, atau wacana tempat perempuan adalah di rumah, perempuan tidak perlu menjadi aktor politik dan sebagaianya, merupakan penyebab kurangnya wakil rakyat perempuan di parlemen. Di sisi lain, kurangnya kepercayaan kaum perempuan yang menjadi pemilih saat pemilihan umum (pemilu), terhadap calon legislatif (caleg) perempuan untuk menjalankan kepemimpinan dalam dunia politik, juga menjadi penyebab kurangnya kesempatan perempuan menjadi wakil rakyat di parlemen.
Kehadiran perempuan sebagai wakil rakyat perempuan idealnya tidak hanya bermakna secara kuantitatif dengan jumlah yang besar, namun kehadiran mereka mampu membawa ide serta gagasan dalam menentukan kebijakan publik sehingga dapat mewakili kepentingan kaum perempuan, inilah substansi politik kehadiran (politics of presence), sebagaimana yang dikemukakan oleh Ann Philips (1998).
 Keberadaan politik memiliki kaitan yang sangat erat dengan aktivitas sehari-hari yang tak lepas dari hak asasi manusia. Selanjutnya, dalam demokrasi pandangan-pandangan dari kaum perempuan harus menjadi pertimbangan. Ide dan aspirasi dari kaum perempuan harus diincludekan dalam keputusan atau kebijakan publik yang akan diberlakukan. Selain itu, perlu melihat representasi dan partisipasi politik perempuan adalah sebagai hukum kasualitas, dimana jika representasi perempuan dalam politik meningkat maka peluang pengaruh dalam penentuan kebijakan publik dari sisi perempuan juga semakin besar. Hal ini jelas karena kualitas seseorang turut menjadi pertimbangan yang mendukung dirinya menjadi perwakilan kelompok dalam dunia politik. Oleh karena itu, keterwakilan perempuan perlu ditingkatkan. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan juga harus berbanding dengan upaya peningkatan partisipasi kerja perempuan dalam parlemen, dalam hal ini peningkatan kualitas diri.
Ketika ingin membawa aspirasi kaum perempuan, tidak hanya partisipasi namun juga representasi. Walaupun sudah ada undang-undang yang mengatur tentang keterwakilan perempuan 30% untuk kaum perempuan di lembaga legislatif, namun keterwakilan perempuan masih sulit mencapai angka 30% kuota minimum. Undang-undang ini juga belum memiliki sanksi bagi partai politik yang tidak menjalankan aturan tersebut.
Sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, prinsip keterwakilan harus terjamin realisasinya. Keterwakilan perempuan dalam parlemen harus ditingkatkan melalui pemaksimalan pelaksanaan affirmative action, memperberat sanksi bagi partai politik yang tidak dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan, melakukan pendidikan politik bagi partai politik terkait sistem pemilu, pendidikan sistem tatanegara dan pemerintahan di Indonesia, cara membangun citra diri, dan komunikasi politik.
Selain penetapan kuota minimal 30%, bentuk afirmasi lain yang dapat digunakan dalam upaya peningkatan jumlah keterwakilan perempuan dalam parlemen adalah reserved seat dan zipper system. Reserved seat merupakan penetapan jumlah kursi yang harus ditempati perempuan secara minimal dalam hal ini setiap 30% setiap daerah pemilihan harus diwakili oleh perempuan. Sedangkan zipper system dilakukan untuk memastikan agar perempuan dan laki-laki secara selang-seling tertulis dalam daftar, sehingga representasi yang ada berimbang antara kaum laki-laki dan perempuan dalam daftar pencalonan. 
Selanjutnya, meningkatkan partisipasi kerja dalam parlemen. Wakil rakyat perempuan harus memegang jabatan strategis dalam parlemen, sehingga memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan. Hal ini dapat terwujud dengan melihat seberapa luas wawasan dan kualitas wakil rakyat perempuan dalam dunia politik, sehingga dipercayakan memegang jabatan dan mampu membawa pengaruh. Untuk menghasilkan pemimpin perempuan yang berkualitas, perempuan harus benar-benar dipersiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan strategis dengan melakukan peningkatan mutu calon pemimpin perempuan. Sehingga perempuan yang menjadi wakil dari kaumnya dapat menyampaikan aspirasi, dapat menyuarakan dan membela kepentingan perempuan, serta tidak hanya menjadi pelangkap untuk memenuhi kuota kursi di parlemen secara kuantitatif.
Demikian pula dengan perempuan dan laki-laki yang menjadi pemilih pada pemilu, dalam menentukan pilihan siapa yang akan menjadi wakil rakyat, yang akan membawa aspirasinya tidak dapat ditentukan dengan hanya melihat jenis kelamin, kemudian mengeneralisasi. Namun ada nilai lebih yang harus diperhatikan, yaitu melihat kualitas diri caleg. Perempuan perlu kiranya diberikan informasi terkait kondisi obyektif partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik, informasi tentang hak asasi perempuan, hak politik perempuan, pengetahuan mengenai peran perempuan dan isu gender dalam politik, informasi mengenai aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan politik, pentingnya memilih suatu partai politik dan konsekuensinya.
Terakhir adalah keterlibatan perempuan dalam dunia politik menjadi tantangan berat untuk kaum perempuan, dengan beragam budaya patriarki yang menghambat ruang gerak perempuan, dengan banyaknya stigma masyarakat yang mengatakan bahwa perempuan identik dengan sektor domestik. Adanya anggapan bahwa dunia politik adalah dunia yang lekat dengan dunia yang keras, penuh persaingan, sangat membutuhkan rasionalitas dan minim emosi, yang diidentikkan dengan kaum laki-laki. Sementara, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, yang tak mampu berkontribusi pemikiran, yang tak pantas bergelut dalam dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kerasnya dialektika kekuasaan. Sehingga perlu dibangun kesadaran dalam diri, baik laki-laki maupun perempuan harus membebaskan diri dari belenggu kentalnya budaya patriarki untuk mewujudkan keadilan dan kedaulatan rakyat.
Kesadaran pentingnya politik perempuan harus juga dibentuk oleh perempuan-perempuan muda sekarang. Perempuan milenial tidak boleh buta dengan politik, karena di masa mendatang perempuan milenial lah yang akan menjadi tongkat estafet penerus pemegang kebijakan publik. Sehingga perlu untuk meningkatkan kualitas selain ilmu-ilmu yang didapatkan di bangku perkuliahan, aktif di lembaga organisasi mahasiswa, diskusi-diskusi permasalahan bangsa, memperbanyak membaca, mempelajari teknik kepemimpinan, manajemen organisasi, manajemen waktu, ideopolstratak (ideologi, politik, dan strategi), dan sebagainya yang dibarengi dengan akhlak mulia melalui lembaga-lembaga organisasi yang ada di lingkungannya. Selain itu, membebaskan diri dari budaya-budaya patriarki, anggapan-anggapan yang selalu digadang-gadangkan oleh kaum lelaki misoginis seperti tempat perempuan adalah di rumah, setinggi apapun pendidikan perempuan karirnya hanya di dapur, merupakan sikap yang harus dilakukan, minimal berangkat dari pemikiran sendiri, bahwa ada nilai lebih dengan diciptakannya perempuan di bumi, bahwa perempuan bukan hanya sekadar wacana-wacana yang digaungkan kaum lelaki misoginis itu, bahwa perempuan bisa berperan dalam dunia politik, untuk kesejahteraan bangsa. Karena penduduk Indonesia terdiri dari kaum lelaki dan kaum perempuan, maka untuk kesejahteraan bersama perlu peran dan partisipasi dari keduanya.  

Sabtu, 11 Mei 2019

(Seperti lantunan musik yang memecah keheningan malam)


Tiba-tiba Saja Kau Kembali

Aku tak tahu dari mana kau tahu keberadaanku sore itu, tiba-tiba saja kau berada tepat di hadapanku. Aku terdiam, rasanya kaki ini tak kokoh lagi untuk berdiri dan berjalan. Aku tak siap dengan pertemuan ini. Jujur saja sejak hari itu, aku telah menganggapmu lenyap dari muka bumi ini untuk selama-lamanya.

Kali ini kau mendekat, menghampiriku lebih dekat, sangat dekat, hingga tak ada pemandangan lain yang dapat ku lihat selain wajah sendumu itu. Sungguh, tak pernah ku inginkan untuk bertemu denganmu lagi.

Oh sial, seketika hilang kecewaku. Kenangan yang telah lama ku kubur dalam kembali mencuat ke permukaan dan berhamburan. Dadaku berdesir. Masih sempat nurani dan nalarku berdebat. Dalam hati, ingin ku dekap sosok yang telah lama hilang, sosok yang telah lama ku nanti kembali. Tetapi nalar ini terlalu brutal, menolak. Dan, oh,,, aku harus pergi. Agar tak termakan omong kosongmu lagi. Tak lanjut mempertimbangkan, aku berbalik dan telah beranjak 5 langkah ke depan menjauhi. 

“Tunggu, maafkan aku. Aku menyesal,” katamu seperti memang tak ada luka pedih karenamu. Oh, tidak. Kau memang brengsek, 5 langkahku kau timpali dengan hanya 5 kata singkatmu itu yang seolah menghapus semua keburukanmu di masa lalu.

Sial, sontak langkahku terhenti. Rusak pula pertahananku. Sia-sia jerih payahku menghapus semua kenangan tentangmu. Kau kembali, dan oh… Bisikan itu, entah dari mana asalnya. Aku harus kembali padamu.

Cukup lama langkahku terhenti dan wajahku menoleh ke arahmu. Wajah sendumu itu, ku rindu, rintihku dalam hati.

“Maafkan aku yah,” sontak kau mendekapku melengkapi senjata klasikmu itu. Kau memang pandai memenangi hati. Kau jeli membaca keadaanku saat ini. Kau memenangkan pertemuan ini.

Tidak. Bukan kau yang berhasil memenangkan pertemuan perdana kita setelah 5 tahun lebih lamanya kita tak pernah berjumpa. Bukan kau yang pandai memainkan moment. Tapi, akulah yang tak bisa mengendalikan hatiku. Kalah nalarku. Angan-anganku untuk mengharapkanmu kembali terlalu besar.  Oh sial, tak kuat lagi diri ini menolak. Aku membatu, bibirku kaku.

“Iya,” seolah tak ada lagi kata lain yang dapat kuucapkan saat itu. 

Angin masuk di sela-sela tubuhku dan tubuhmu, dahiku basah, tanganku dingin. Dekapanmu rasanya tak ingin lagi ku lepas. Agar kau tak lagi pergi meninggalkanku.

Namun, Seketika pandanganku buram. Kita Nampak seperti bayang-bayang berkelabat, lalu menjadi gelap. Dan, napasku sesak.

....
“Jangan tinggalkan aku,,,,,” kata itu melengking tinggi di ruang berukuran 3x3 cm itu. Keringat membasahi tubuhku yang dingin. Napasku tak beraturan. Ku lihat sekelilingku.

Aku tersadar,,, kau lagi. Kau kembali, oh bunga tidurku.

Kau memang selalu menghantuiku. Setelah kepergianmu itu, ketahuilah kau sekadar bunga tidurku. Tak ada lagi rasa yang perlu ku ulang dengan orang yang telah menetapkan pilihan dengan perempuan bukan aku di hidupnya.