Minggu, 20 Agustus 2023

BerLAPMI di HMI Cabang Palu

Saya akan memulai cerita ini dengan ungkapan yang sering teman-teman dengar tentang sejarah, karena kita akan berbicara pengalaman yang insyaAllah bermakna selama di LAPMI HMI Cabang Palu, yaitu sejarah ditulis oleh para pemenang. Itu juga yang saya amini, hingga pada 2019 ketika berLAPMI saya memiliki pandangan lain tentang ungkapan tersebut.

Biarkan saya bercerita sedikit, pada Desember 2018 HMI Cabang Palu di bawah kepemimpinan Kanda Iman Sudirman, membentuk/mengaktifkan kembali beberapa Lembaga profesi Cabang yang salah satunya adalah Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI Cabang Palu, dengan dinahkodai oleh Kanda Aswar Ibrahim sebagai Direktur Utama dan sekretaris (Dir. Administrasi) saya sendiri, Minda. LAPMI sendiri pada masa itu baru dibentuk kembali, karena konon katanya jauh sebelum itu pernah ada meskipun kita tidak memiliki catatan tertulis tentang itu. Lalu pada Januari 2019, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan Jurnalistik Nasional (Jurnas) LAPMI HMI Cabang Ciputat (saat itu Direktur Utamanya Tafrichul Fuady Absa). Yang menarik dari kegiatan ini, saya bertemu salah satu pemateri yang berasal dari perwakilan pimpinan ACT Pusat pada saat itu, Kanda Iqbal. Dari perkenalan singkat beliau diawal membuka materi, beliau menyampaikan bahwa dirinya adalah ketua (Direktur utama) LAPMI HMI Cabang Palu pada tahun 1990-1991. Ketika mendengar itu, sebagai orang yang hanya tahu LAPMI di Palu sebelumnya hanya dari cerita, wajar saja kalau kaget atau bahkan skeptis. Tetapi sayangnya kita di HMI Cabang Palu memang tidak memiliki informasi atau data-data tertulis tentang itu yang sebenarnya dapat dijadikan pembanding. Nah, dari sinilah saya berfikir bahwa saat ini sejarah itu bukan hanya ditulis oleh pemenang, lebih utamanya ditulis oleh mereka yang mau menulis dan mendokumentasikan. Hingga setelah kembali ke Palu, ini tetap menjadi perhatian untuk diri saya sendiri. Perenungan itu juga yang membuat tulisan ini hadir meskipun hanya di blog pribadi saya. Saya sangat berharap teman-teman berikutnya tidak seperti saya yang ketika ditanyakan sejarah LAPMI di masa sebelumnya, harus berpikir kembali seperti menyusun puzzle-puzzle cerita dari kanda yunda yang sebagian lainnya hilang. Semoga tulisan ini bermanfaat dan ditemukan oleh teman-teman LAPMI atau HMI Cabang Palu di masa yang akan datang.

Nah, agar tulisan di atas tidak terkesan mengada-ada dan membosankan, ini beberapa dokumentasi pada saat kegiatan di Ciputat.

  Pembukaan kegiatan Jurnas LAPMI HMI Cabang Ciputat

                                     

Foto bersama salah satu pemateri


Foto bersama Kanda Iqbal

Foto bersama Kanda Iqbal

 

 

 

 

 

 

Kemudian pada tahun 2020, berganti kepengurusan baru dan saya terpilih menjadi Direktur Utama, Faozani (komisariat FKIP) sebagai Direktur Administrasi dan Keuangan, dan Iyan Parasidi (komisariat FKIP) sebagai Direktur Penerbitan dan Penyiaran.

 

 

Berikut dokumentasi ketika pelantikan :

Dari kiri ke kanan : Dir Faozani, Dirut Leppami, Ketkom Basri, Yunda Waddah, Ketum Febri, Master Afif, Dir Iyan

Dari kiri ke kanan : Iyan Parasidi, Minda, Faozani

Saat itu di kepengurusan kita memang hanya bertiga, saya senang menyebutnya dengan kepengurusan minimalis. Meskipun begitu, kita memiliki tujuan yang besar. Harapan kita selain sukses dalam berkegiatan, LAPMI harus memiliki produk jurnalistik.

Kondisi saat itu memang tidak semudah ketika kita meletakkan harapan dan tujuan. Bagaimana tidak, LAPMI yang sangat baru (kita kepengurusan kedua) belum memiliki kuantitas dan kualitas yang mumpuni, dan kita tidak bisa mengabaikan fakta itu. Lalu pelan-pelan kita memperbaiki kuantitas dengan melakukan perekrutan (Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar/PJTD), sementara memperbaiki kualitas, kita coba melihat kembali potensi teman-teman di HMI Cabang Palu, dengan pemahaman sederhana : untuk menghasilkan produk jurnalistik harus dimulai dengan kemampuan menulis, untuk bisa menulis harus memiliki wawasan yang luas dengan membaca, sementara di lingkungan kita saat itu minat baca teman-teman sebagian besar masih minim. Maka saat itu permasalahan kita adalah permasalahan yang paling bawah, yaitu meningkatkan minat baca. Ini yang kemudian menjadi fokus utama selama kepengurusan. Kita membuat kelas TAMEME (Tantangan Mereview dan Mendesign), kelas review buku dan pelatihan design grafis yang dilaksanakan setiap pekan secara bergantian.

Kita sebagai pengurus telah berusaha memfasilitasi, dan itu bisa berjalan kurang lebih selama tiga bulan berturut-turut. Tentu banyak tantangan-tantangan kecil dalam pelaksanaan, tetapi bisa diatasi hingga akhirnya muncul tantangan yang lebih besar dan cukup beralasan untuk diam dan berhenti. Lalu pada September 2022 dilaksanakanlah Musyawarah Lembaga (Muslem) kedua.

Ini beberapa dokumentasi ketika pelaksanaan kelas TAMEME :



Webinar Cara Mereview buku yang baik dan benar oleh Kak Ary Fahry

Pertemuan berikutnya review buku dan design grafis :











Semoga melalui tulisan singkat ini, teman-teman yang ingin menjejaki LAPMI HMI Cabang Palu bisa menemukan jalan melalui nama-nama dan waktu yang saya sebutkan. Selain harapan yang telah saya sampaikan di atas, secara pribadi saya juga ingin mengabadikan semangat dan kerjasama rekan-rekan pengurus saya pada saat itu. Faozani dan Iyan Parasidi adalah rekan tim yang sangat luar biasa, dan saya senang pernah bertim dengan mereka.

 

Salam

Minda

Minggu, 07 Maret 2021

 

Gibah

"Zhuu, sini. Sebelah sini!" dari kejauhan di bawah tenda yang dihiasi bunga serba putih dipadu padankan dengan latar biru, ibu-ibu melambaikan tangan ke arah Zhubaedah.

Zhubaedah yang tampil cantik memakai brokat berwarna pink dan jilbab senada, menarik perhatian hampir semua tamu undangan yang lebih dulu hadir. Zhubaedah langsung berjalan ke arah ibu-ibu yang memanggilnya.

"Wah, Zhubaedah cantik yah." Bisik bu Tari

Iyaaaa masyaAllah.” mata Bu Nina masih tertuju ke arah perempuan yang akrab disapa Zhuu itu.

“Iya cantik, tapi zaman sekarang anak gadis cantik-cantik, sukanya sama laki yang sudah beristri. Banyak loh yang kek gitu.” Bu Tejo membuka pembahasan

Zhubaedah itu harus diingatkan. Jangan sampai termakan dengan rayuan gombal lelaki keparat yang sudah beristri, sampai rela jadi simpanan. Lanjut Bu Tejo

Eh cantik yah kamu Zhuu. Bu Nina menyapa

Zhubaedah senyum lalu duduk di kursi yang masih kosong diantara ibu-ibu itu.

Cantik-cantik otaknya juga harus ngikut. Jangan dirayu dikit udah luluh. Apalagi sama laki-laki yang sudah beristri. Malu!” Sinis Bu Tejo

Zhuu hanya senyum mendengar ocehan Bu Tejo

Kamu tahu kan soal Bang Gelai itu. Semua warga itu sudah tahu. Dia punya simpanan, masih bocil SMA. Kan ngeri. Pelakor katanya”. Bu Tejo masih melanjutkan.

Zhubaedah masih diam menyimak pembicaraan ibu-ibu gang Sarimin itu.

Penasaran, apa sih yang buat bocil seumuran gitu mau sama laki yang sudah beristri?” Bu Tari bingung

“Iya kenapa sih anak-anak gadis sekarang? Ibu tahu si Maya? Itu loh yang depan komplek, pulangnya sering larut malam dan dianter sama laki-laki yang kayaknya seumuran bapaknya. Ih amit-amit ya bu.” sambung Bu Tejo

“Dunia ini memang sudah semakin tua. Manusia-manusianya banyak buat dosa.” Ketus Bu Nina

“Banyak rumah tangga yang hancur. Ih hati-hati, bahaya, dijagain suaminya Bu.” Bu Tejo mewanti-wanti.

Zhubaedah yang mendengar hanya senyum dan geleng-geleng kepala

“Eh Bu bu, sini deh agak rapat.” Zhubaedah merapat, sedikit menundukkan kepala mencoba menarik perhatian ibu-ibu komplek itu dengan menyaingi suara musik yang tak berhenti.

Pelakor memang bahaya bu, satu atau dua rumah tangga bisa rusak karena pelakor. Tapi, ada yang lebih bahaya, yang merusak banyak rumah tangga, sekalipun sekuat tenaga jagain suaminya bu.”

“Apa Zhuu?” Serentak ibu-ibu itu bertanya

“Pak Bambang.” Singkat  Zhubaedah.

“Hah, maksudmu? Pak Bambang, pak Lurah kita kan?” Tanya Bu Nina

“Pak lurah suka sesama jenis?” Bu Tejo coba menebak

“Tapi dia punya istri.” Bu Tari melanjutkan

Mendengar pertanyaan ibu-ibu yang bersahutan itu, Zhuu hanya bisa menahan tawa.

“Gak, bukan gitu bu.”

“Coba deh ibu-ibu perhatiin sikap pak Lurah, Pak Bambang. Kalau diajak ngobrol apa aja pasti nyambung, asal jangan ngomong soal ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran, banjir, coped19, korupsi dan sebagainya.”

Semua ibu itu menatap Zhubaedah dengan dahi mengkerut.

“Laki ibu kalau ngomong sepak bola, wah diladeninya seharian dengan senang.” Zhubaedah mengarah ke Bu Tari yang kursinya tepat di depannya.

“Anak Ibu, kalau ngomong soal game online, wah Pak Bambang juga ngerti.” Zhubaedah mengarah ke Bu Nina yang bersebelahan dengan Bu Tari

“Ibu  kalau ngomong soal pelakor, pasti belio senangnya juga bukan main.” Zhubaedah mengarah ke Bu Tejo yang tepat di sebelah kirinya. “Karena  ibu pasti takut suami ibu macem-macem, sampai ibu hanya fokus jagain suami, sibuk menghujat dan menghakimi anak gadis di komplek, jadi lupa sama kesalahannya. Belio itu memanfaatkan keadaan kek gitu. Mengalihkan perhatian bu-ibu supaya tidak melihat kelalaiannya.”

“Bu, rumor Bang Gelai dan si Maya mungkin merusak satu dua rumah tangga, tapi kelalaian Pak Bambang merusak seluruh rumah tangga dimanapun. Coba lihat, gak sedikit rumah tangga yang berakhir dengan perceraian karena alasan lakinya gak bisa menuhin kebutuhan keluarga, ujungnya kan kemiskinan, kurangnya pekerjaan, pengangguran, dan semua itu karena pak Bambang yang gak nyelesaiin.” Zhubaedah masih melanjutkan.

“Oh iya yah.” Bu Tari setengah mikir

“Iya dong bu. Pamanku pernah ngomong, untuk mengalihkan perhatian, gak cukup hanya dengan bualan, perlu ada sedikit ketakutan-ketakutan kecil. Belio gak perlu ngadain ketakutan-ketakutan itu. Semua sudah ada sama ibu-ibu. Itu yang lebih bahaya bu.” Zhubaedah memberi simpulan

“Sialan pak lurah.” Bu Tejo naik pitam.

Sejenak ibu-ibu itu diam.

“Lah kok pada berdiri?” Bu Nina menoleh, memerhatikan tamu undangan lainnya.

“Keasikan cerita, sudah pada makan.” Seru Bu Tari

“Ayoo, nanti lanjut lagi gibahnya.” Zhubaedah merasa puas telah memberi ceramah ke ibu-ibu itu. Sambil tertawa kecil Zhubaedah bergegas mengambil makanan yang disediakan.

 

Rabu, 10 Februari 2021

Asas Kerjasama 

Tak ada yang dapat menandingi keromantisan sepasang kekasih kampung Arit Tengah itu. Zhubaedah bersama pujaan hatinya Bambang, pasangan yang sangat terkenal karena kebersamaannya di kampung yang mungkin sudah buat mata jemu. Bak surat dan perangko, Zhubaedah menempel terus dengan pacarnya itu.

Pernah satu waktu, Bambang yang menghadiri seminar di kampung sebelah mesti datang terlambat karena menunggu Zhubaedah yang sebenarnya tak berencana untuk diajak. Di kesempatan lain pula, Bambang turut menemani Zhubaedah yang tengah berbelanja di pasar tradisional, berjalan bergandengan, dan memastikan kekasihnya tak berdesakan dengan orang-orang, hingga menyita banyak perhatian seperti pejabat besar yang sedang blusukan.

Sore sudah semakin tua. Tentu Bambang tak ingin melewati keindahan senja di akhir pekan bersama pujaannya. Di tepi pantai mereka duduk menikmati senja hari itu.

"Mas, kalau kita berumah tangga nanti, aku pengennya kita berasaskan kerjasama. Urusan rumah dan urusan anak ngurusnya harus sama-sama, harus saling bantu mas." Ketus Zhubaedah memecah keheningan.

"Kayak gitu-gitu kan urusan seorang istri dek." Bambang menjawab sekenanya

Zhubaedah menarik kepala yang sebelumnya tersandar di bahu si Bambang.

"Gak bisa gitu dong mas. Pemikiranmu itu jangan kayak pemikiran orang-orang di kampung dong. Setelah nikah, istrinya udah ngurus rumah, ngurus anak, ngurus suami sampe lupa ngurus diri, masih untung gak mati." Tegas Zhubaedah

Bambang terkekeh mendengar pacarnya itu

"Jadi mas jangan kayak gitu. Timpang. Itu gak adil loh Mas."

Bambang belum mengangkat suara. Sambil tersenyum ia masih menatap kekasihnya yang sedari tadi belum berhenti nyerocos lengkap dengan gerakan tangannya yang ditarik ulur ke depan.

"Ingat Mas, susah loh cari keadilan. Di belahan manapun di negeri ini. Mau menuntut, tapi kepada siapa tuntutan diadukan.? Pengayom masyarakat? Penegak keadilan? Semuanya itu hanya ada di negeri dongeng Mas" Zhubaedah semakin berapi-api

Bambang menyadari kekasihnya yang tampak serius. Ia menatap pacarnya..

"Kamu ini ngomong apa sih dek?" seru Bambang.

"Keadilan mas. Mas itu harus berlaku adil mulai dari hal-hal kecil kayak gini mas. Bisa rusak negeri ini kalau sampai masyarakat kecil kayak kita ini juga sudah gak paham yang namanya keadilan.”

Kemarin itu yah mas aku liat di tv, soal penembakan beberapa laskar di kota Anu, sampe saat ini kasusnya gak jelas. Entah siapa pelakunya, yang jelas warga komplek gak mungkin punya senjata kek gitu" Zhubaedah mengait-ngaitkan.

Soal keadilan selama ini Bambang memang sependapat dengan kekasihnya.

"Wah itu sih parah. Tapi kalau ngomong soal keadilan kasus penembakan gak usah jauh-jauh dek. Si Adam, Itu, anak sulung Mbah Tejo, tahu kan?"

Zhubaedah menatap Bambang dengan dahi mengkerut. "Yang mana?" Tanyanya penasaran

"Mbah Tejo yang di itu loh, tetangga ibu di kampung cerdas. Ninggal ketembak"

"Astagaaaa ketembak atau ditembak mas?" Spontan Zhubaedah bertanya

"Ya entahlah, sampai hari ini belum dapat kejelasan. Kabarnya sih ada upaya semacam permintaan damai. Miris kan? Iya kali dikira ini nyawa ayam" gerutu Bambang.

"Wah, gak bener itu. Tangannya gak bener." Lanjut Zhubaedah

"Masa orang yang mahir pakai senjata kok tangannya gak bener?" Bambang menyela

Zhubaedah menatap wajah Bambang, alis kanannya terangkat lalu bola matanya bergerak melirik ke bahu kirinya. "Bukan tangan orangnya yang gak bener. Tangan mas ini loh, lost control."

Bambang tersentak dan langsung menarik tangannya dari bahu Zhubaedah, sambil senyum dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Iy, iyaaa,,,," Bambang tiba-tiba gagap. "Iyaa maaf dek.."

Zhubaedah tersenyum, lalu menatap si Bambang. Seketika ia melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Bambang. Kini Bambang merasa bingung, tapi tak berlama-lama, ia tersenyum sambil membelai rambut bob kekasihnya itu.

"Kita ini harus bersikap adil sejak dari pikiran Mas" suara Zhubaedah lirih.

Bambang mengangguk dan terus membelai rambut Zhubaedah.

“Tapi ngurus anak sama ngurus rumah tetap urusan seorang istri kan dek?” kata Bambang sambil menahan tawa.

“Yah gak lah  mas.” Zhubaedah sensi. “Ingat yah mas,” Zhubaedah mengeja “A-sas ker-ja-sa-ma. Titik.”

“Kalau gak mau.” ledek Bambang.

“Oh, nih rasakan nih.” Zhubaedah mencubit perut Bambang lalu berlari – Bambang mengejar. Tawa riang mereka menyaingi ombak yang berdesir. Dari kejauhan tampak remang-remang senja sore itu membentuk siluet sepasang kekasih nan indah..