Rabu, 10 Februari 2021

Asas Kerjasama 

Tak ada yang dapat menandingi keromantisan sepasang kekasih kampung Arit Tengah itu. Zhubaedah bersama pujaan hatinya Bambang, pasangan yang sangat terkenal karena kebersamaannya di kampung yang mungkin sudah buat mata jemu. Bak surat dan perangko, Zhubaedah menempel terus dengan pacarnya itu.

Pernah satu waktu, Bambang yang menghadiri seminar di kampung sebelah mesti datang terlambat karena menunggu Zhubaedah yang sebenarnya tak berencana untuk diajak. Di kesempatan lain pula, Bambang turut menemani Zhubaedah yang tengah berbelanja di pasar tradisional, berjalan bergandengan, dan memastikan kekasihnya tak berdesakan dengan orang-orang, hingga menyita banyak perhatian seperti pejabat besar yang sedang blusukan.

Sore sudah semakin tua. Tentu Bambang tak ingin melewati keindahan senja di akhir pekan bersama pujaannya. Di tepi pantai mereka duduk menikmati senja hari itu.

"Mas, kalau kita berumah tangga nanti, aku pengennya kita berasaskan kerjasama. Urusan rumah dan urusan anak ngurusnya harus sama-sama, harus saling bantu mas." Ketus Zhubaedah memecah keheningan.

"Kayak gitu-gitu kan urusan seorang istri dek." Bambang menjawab sekenanya

Zhubaedah menarik kepala yang sebelumnya tersandar di bahu si Bambang.

"Gak bisa gitu dong mas. Pemikiranmu itu jangan kayak pemikiran orang-orang di kampung dong. Setelah nikah, istrinya udah ngurus rumah, ngurus anak, ngurus suami sampe lupa ngurus diri, masih untung gak mati." Tegas Zhubaedah

Bambang terkekeh mendengar pacarnya itu

"Jadi mas jangan kayak gitu. Timpang. Itu gak adil loh Mas."

Bambang belum mengangkat suara. Sambil tersenyum ia masih menatap kekasihnya yang sedari tadi belum berhenti nyerocos lengkap dengan gerakan tangannya yang ditarik ulur ke depan.

"Ingat Mas, susah loh cari keadilan. Di belahan manapun di negeri ini. Mau menuntut, tapi kepada siapa tuntutan diadukan.? Pengayom masyarakat? Penegak keadilan? Semuanya itu hanya ada di negeri dongeng Mas" Zhubaedah semakin berapi-api

Bambang menyadari kekasihnya yang tampak serius. Ia menatap pacarnya..

"Kamu ini ngomong apa sih dek?" seru Bambang.

"Keadilan mas. Mas itu harus berlaku adil mulai dari hal-hal kecil kayak gini mas. Bisa rusak negeri ini kalau sampai masyarakat kecil kayak kita ini juga sudah gak paham yang namanya keadilan.”

Kemarin itu yah mas aku liat di tv, soal penembakan beberapa laskar di kota Anu, sampe saat ini kasusnya gak jelas. Entah siapa pelakunya, yang jelas warga komplek gak mungkin punya senjata kek gitu" Zhubaedah mengait-ngaitkan.

Soal keadilan selama ini Bambang memang sependapat dengan kekasihnya.

"Wah itu sih parah. Tapi kalau ngomong soal keadilan kasus penembakan gak usah jauh-jauh dek. Si Adam, Itu, anak sulung Mbah Tejo, tahu kan?"

Zhubaedah menatap Bambang dengan dahi mengkerut. "Yang mana?" Tanyanya penasaran

"Mbah Tejo yang di itu loh, tetangga ibu di kampung cerdas. Ninggal ketembak"

"Astagaaaa ketembak atau ditembak mas?" Spontan Zhubaedah bertanya

"Ya entahlah, sampai hari ini belum dapat kejelasan. Kabarnya sih ada upaya semacam permintaan damai. Miris kan? Iya kali dikira ini nyawa ayam" gerutu Bambang.

"Wah, gak bener itu. Tangannya gak bener." Lanjut Zhubaedah

"Masa orang yang mahir pakai senjata kok tangannya gak bener?" Bambang menyela

Zhubaedah menatap wajah Bambang, alis kanannya terangkat lalu bola matanya bergerak melirik ke bahu kirinya. "Bukan tangan orangnya yang gak bener. Tangan mas ini loh, lost control."

Bambang tersentak dan langsung menarik tangannya dari bahu Zhubaedah, sambil senyum dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Iy, iyaaa,,,," Bambang tiba-tiba gagap. "Iyaa maaf dek.."

Zhubaedah tersenyum, lalu menatap si Bambang. Seketika ia melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Bambang. Kini Bambang merasa bingung, tapi tak berlama-lama, ia tersenyum sambil membelai rambut bob kekasihnya itu.

"Kita ini harus bersikap adil sejak dari pikiran Mas" suara Zhubaedah lirih.

Bambang mengangguk dan terus membelai rambut Zhubaedah.

“Tapi ngurus anak sama ngurus rumah tetap urusan seorang istri kan dek?” kata Bambang sambil menahan tawa.

“Yah gak lah  mas.” Zhubaedah sensi. “Ingat yah mas,” Zhubaedah mengeja “A-sas ker-ja-sa-ma. Titik.”

“Kalau gak mau.” ledek Bambang.

“Oh, nih rasakan nih.” Zhubaedah mencubit perut Bambang lalu berlari – Bambang mengejar. Tawa riang mereka menyaingi ombak yang berdesir. Dari kejauhan tampak remang-remang senja sore itu membentuk siluet sepasang kekasih nan indah..

2 komentar:

  1. Mamtab Bu Dir.

    Tapi perlu diketahui bahwa ketimpangan keadilan akan selalu ada. Jangan sampai keadilan itu tegak. Sebab, jika keadilan itu tegak maka penegak hukum akan kesulitan yang berujung pada bubarnya institusi penegak hukum. Aparatur keamana akan bubar, para hakim dan jaksa akan kehilangan pekerjaan, penjara akan kosong, buruh bangunan akan kekurangan job kerja, pabrik terali besi tutup yang bertujuan pada PHK masal karna penjara sepi,dll.

    Dengan hilangnya ketimpangan keadilan maka akan memutus mata rantai perekonomian, olehnya ketimpangan keadilan harus tetap ada agar roda perekonomian tetap berjalan.

    BalasHapus