Asas Kerjasama
Tak
ada yang dapat menandingi keromantisan sepasang kekasih kampung Arit Tengah
itu. Zhubaedah bersama pujaan hatinya Bambang, pasangan yang sangat terkenal
karena kebersamaannya di kampung yang mungkin sudah buat mata jemu. Bak surat
dan perangko, Zhubaedah menempel terus dengan pacarnya itu.
Pernah
satu waktu, Bambang yang menghadiri seminar di kampung sebelah mesti datang
terlambat karena menunggu Zhubaedah yang sebenarnya tak berencana untuk diajak.
Di kesempatan lain pula, Bambang turut menemani Zhubaedah yang tengah
berbelanja di pasar tradisional, berjalan bergandengan, dan memastikan
kekasihnya tak berdesakan dengan orang-orang, hingga menyita banyak perhatian
seperti pejabat besar yang sedang blusukan.
Sore
sudah semakin tua. Tentu Bambang tak ingin melewati keindahan senja di akhir
pekan bersama pujaannya. Di tepi
pantai mereka duduk menikmati senja hari itu.
"Mas,
kalau kita berumah tangga nanti, aku pengennya kita berasaskan kerjasama.
Urusan rumah dan urusan anak ngurusnya harus sama-sama, harus saling bantu
mas." Ketus Zhubaedah memecah keheningan.
"Kayak
gitu-gitu kan urusan seorang istri dek." Bambang menjawab sekenanya
Zhubaedah
menarik kepala yang sebelumnya tersandar di bahu si Bambang.
"Gak
bisa gitu dong mas. Pemikiranmu itu jangan kayak pemikiran orang-orang di
kampung dong. Setelah nikah, istrinya udah ngurus rumah, ngurus anak, ngurus
suami sampe lupa ngurus diri, masih untung gak mati." Tegas Zhubaedah
Bambang
terkekeh mendengar pacarnya itu
"Jadi
mas jangan kayak gitu. Timpang. Itu gak adil loh Mas."
Bambang
belum mengangkat suara. Sambil tersenyum ia masih menatap kekasihnya yang
sedari tadi belum berhenti nyerocos
lengkap dengan gerakan tangannya yang ditarik ulur ke
depan.
"Ingat
Mas, susah loh cari keadilan. Di belahan manapun di negeri ini. Mau menuntut,
tapi kepada siapa tuntutan diadukan.? Pengayom masyarakat? Penegak keadilan?
Semuanya itu hanya ada di negeri dongeng Mas" Zhubaedah semakin berapi-api
Bambang
menyadari kekasihnya yang tampak serius. Ia menatap pacarnya..
"Kamu
ini ngomong apa sih dek?" seru
Bambang.
"Keadilan mas. Mas itu harus berlaku adil mulai dari
hal-hal kecil kayak gini mas. Bisa rusak negeri ini kalau sampai masyarakat
kecil kayak kita ini juga sudah gak paham yang namanya keadilan.”
“Kemarin itu yah mas aku
liat di tv, soal penembakan beberapa
laskar
di kota Anu, sampe saat ini kasusnya
gak jelas. Entah siapa pelakunya, yang jelas warga komplek gak mungkin punya
senjata kek gitu" Zhubaedah mengait-ngaitkan.
Soal
keadilan selama ini Bambang memang sependapat
dengan kekasihnya.
"Wah
itu sih parah. Tapi kalau ngomong soal keadilan kasus penembakan gak usah jauh-jauh dek. Si
Adam, Itu,
anak sulung Mbah Tejo, tahu kan?"
Zhubaedah
menatap Bambang dengan dahi mengkerut. "Yang mana?" Tanyanya
penasaran
"Mbah
Tejo yang di itu loh, tetangga ibu di kampung cerdas. Ninggal ketembak"
"Astagaaaa
ketembak atau ditembak mas?" Spontan Zhubaedah bertanya
"Ya
entahlah, sampai hari ini belum dapat kejelasan. Kabarnya sih ada upaya semacam
permintaan damai. Miris kan?
Iya
kali dikira ini nyawa ayam" gerutu Bambang.
"Wah,
gak bener itu. Tangannya
gak bener." Lanjut Zhubaedah
"Masa
orang yang mahir pakai senjata kok tangannya gak bener?" Bambang menyela
Zhubaedah
menatap wajah Bambang, alis kanannya terangkat lalu bola matanya bergerak melirik
ke bahu kirinya. "Bukan tangan orangnya yang gak bener. Tangan mas ini
loh, lost control."
Bambang
tersentak dan langsung menarik tangannya dari bahu Zhubaedah, sambil senyum dan
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Iy,
iyaaa,,,," Bambang tiba-tiba gagap. "Iyaa maaf dek.."
Zhubaedah
tersenyum, lalu menatap si Bambang. Seketika ia melingkarkan kedua tangannya ke
tubuh Bambang. Kini Bambang merasa bingung,
tapi tak berlama-lama, ia tersenyum sambil membelai rambut bob kekasihnya itu.
"Kita
ini harus bersikap adil sejak dari pikiran Mas" suara Zhubaedah lirih.
Bambang
mengangguk dan terus membelai rambut Zhubaedah.
“Tapi ngurus anak sama ngurus rumah tetap urusan
seorang istri kan dek?” kata Bambang sambil menahan tawa.
“Yah gak lah
mas.” Zhubaedah sensi. “Ingat yah mas,” Zhubaedah mengeja “A-sas
ker-ja-sa-ma. Titik.”
“Kalau gak mau.” ledek Bambang.
“Oh, nih rasakan nih.” Zhubaedah mencubit perut
Bambang lalu berlari – Bambang mengejar. Tawa riang mereka menyaingi ombak yang
berdesir. Dari
kejauhan tampak remang-remang senja sore itu membentuk siluet sepasang kekasih nan
indah..
Kerenn 🤘🏻
BalasHapusMamtab Bu Dir.
BalasHapusTapi perlu diketahui bahwa ketimpangan keadilan akan selalu ada. Jangan sampai keadilan itu tegak. Sebab, jika keadilan itu tegak maka penegak hukum akan kesulitan yang berujung pada bubarnya institusi penegak hukum. Aparatur keamana akan bubar, para hakim dan jaksa akan kehilangan pekerjaan, penjara akan kosong, buruh bangunan akan kekurangan job kerja, pabrik terali besi tutup yang bertujuan pada PHK masal karna penjara sepi,dll.
Dengan hilangnya ketimpangan keadilan maka akan memutus mata rantai perekonomian, olehnya ketimpangan keadilan harus tetap ada agar roda perekonomian tetap berjalan.