Sabtu, 11 Mei 2019

(Seperti lantunan musik yang memecah keheningan malam)


Tiba-tiba Saja Kau Kembali

Aku tak tahu dari mana kau tahu keberadaanku sore itu, tiba-tiba saja kau berada tepat di hadapanku. Aku terdiam, rasanya kaki ini tak kokoh lagi untuk berdiri dan berjalan. Aku tak siap dengan pertemuan ini. Jujur saja sejak hari itu, aku telah menganggapmu lenyap dari muka bumi ini untuk selama-lamanya.

Kali ini kau mendekat, menghampiriku lebih dekat, sangat dekat, hingga tak ada pemandangan lain yang dapat ku lihat selain wajah sendumu itu. Sungguh, tak pernah ku inginkan untuk bertemu denganmu lagi.

Oh sial, seketika hilang kecewaku. Kenangan yang telah lama ku kubur dalam kembali mencuat ke permukaan dan berhamburan. Dadaku berdesir. Masih sempat nurani dan nalarku berdebat. Dalam hati, ingin ku dekap sosok yang telah lama hilang, sosok yang telah lama ku nanti kembali. Tetapi nalar ini terlalu brutal, menolak. Dan, oh,,, aku harus pergi. Agar tak termakan omong kosongmu lagi. Tak lanjut mempertimbangkan, aku berbalik dan telah beranjak 5 langkah ke depan menjauhi. 

“Tunggu, maafkan aku. Aku menyesal,” katamu seperti memang tak ada luka pedih karenamu. Oh, tidak. Kau memang brengsek, 5 langkahku kau timpali dengan hanya 5 kata singkatmu itu yang seolah menghapus semua keburukanmu di masa lalu.

Sial, sontak langkahku terhenti. Rusak pula pertahananku. Sia-sia jerih payahku menghapus semua kenangan tentangmu. Kau kembali, dan oh… Bisikan itu, entah dari mana asalnya. Aku harus kembali padamu.

Cukup lama langkahku terhenti dan wajahku menoleh ke arahmu. Wajah sendumu itu, ku rindu, rintihku dalam hati.

“Maafkan aku yah,” sontak kau mendekapku melengkapi senjata klasikmu itu. Kau memang pandai memenangi hati. Kau jeli membaca keadaanku saat ini. Kau memenangkan pertemuan ini.

Tidak. Bukan kau yang berhasil memenangkan pertemuan perdana kita setelah 5 tahun lebih lamanya kita tak pernah berjumpa. Bukan kau yang pandai memainkan moment. Tapi, akulah yang tak bisa mengendalikan hatiku. Kalah nalarku. Angan-anganku untuk mengharapkanmu kembali terlalu besar.  Oh sial, tak kuat lagi diri ini menolak. Aku membatu, bibirku kaku.

“Iya,” seolah tak ada lagi kata lain yang dapat kuucapkan saat itu. 

Angin masuk di sela-sela tubuhku dan tubuhmu, dahiku basah, tanganku dingin. Dekapanmu rasanya tak ingin lagi ku lepas. Agar kau tak lagi pergi meninggalkanku.

Namun, Seketika pandanganku buram. Kita Nampak seperti bayang-bayang berkelabat, lalu menjadi gelap. Dan, napasku sesak.

....
“Jangan tinggalkan aku,,,,,” kata itu melengking tinggi di ruang berukuran 3x3 cm itu. Keringat membasahi tubuhku yang dingin. Napasku tak beraturan. Ku lihat sekelilingku.

Aku tersadar,,, kau lagi. Kau kembali, oh bunga tidurku.

Kau memang selalu menghantuiku. Setelah kepergianmu itu, ketahuilah kau sekadar bunga tidurku. Tak ada lagi rasa yang perlu ku ulang dengan orang yang telah menetapkan pilihan dengan perempuan bukan aku di hidupnya.