Partisipasi Kerja dan Keterwakilan Politik
Perempuan sebagai Satu Kesatuan dalam Upaya peningkatan Kesejahteraan
Indonesia pada era
reformasi sangat menjunjung tinggi sistem demokrasi. Secara progresif, demokrasi
merupakan batasan kekuasaan pemerintah dengan mengembalikan kekuasaan tertinggi
kepada rakyat. Hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bernegara menekankan pada
kekuasaan berada di tangan rakyat, yang meliputi tiga hal yaitu (1)
pemerintahan dari rakyat (government of
the people), (2) pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan (3) pemerintahan untuk rakyat (government for the people). Namun,
lupakan definisi-definisi demokrasi yang hingga saat ini pelaksanaannya hanyalah
fiktif belaka. Secara sederhana, sistem demokrasi dapat terwujud apabila kita
turut andil dalam mengendalikan dan memutuskan kebijakan-kebijakan publik yang
berlaku, baik dengan menyampaikan secara langsung atau representasi dari kelompok
masyarakat kita, demi terwujudnya kesejahteraan di antara kelas atau
kelompok-kelompok sosial yang ada.
Budiardjo dalam bukunya
dasar-dasar ilmu politik mengemukakan ada tiga tujuan utama bangsa, yaitu (1)
tujuan politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk
mewujudkan demokratisasi politik, (2) tujuan administratif yaitu untuk
pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah, seperti sumber keuangan
serta manajemen birokrasi yang diwujudkan melalui otonomi daerah, dan (3)
tujuan ekonomi yaitu peningkatan indeks pembangunan manusia sebagai indikator
peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang diwujudkan melalui hak
otonomi daerah.
Untuk mencapai
kesejahteraan dan keadilan yang demokraktik, keputusan atau kebijakan publik
harus inklusif dari aspirasi seluruh golongan atau kelompok-kelompok sosial
yang ada, hal ini didasarkan atas perbedaan kebutuhan dan perbedaan cara untuk
tersejahterahkan. Undang-undang Dasar 1945, dalam penggalan pasal 27 ayat (1)
yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada
kecualinya,” memiliki arti negara memberikan kebebasan dan kesempatan yang sama
dan adil di mata hukum terhadap masyarakat dalam pemerintahan. Untuk mencapai
keadilan, kebijakan yang dibentuk harus menyentuh semua kelompok sosial yang ada,
sehingga perlu adanya partisipasi kerja dimana perwakilan mampu menyampaikan
aspirasi kelompok sosialnya, melalui representasi dari setiap kelompok sosialnya.
Namun dalam realitas saat ini, kita bisa melihat bagaimana ketidakseimbangan
kuasa dalam memutuskan kebijakan publik yang hanya berasal dari kelas atau
kalangan tertentu. Salah satu ketidakseimbangan kuasa yang nyata adalah
ketidaksetaraan yang melibatkan posisi dan relasi kuasa antara perempuan dan
laki-laki dalam dunia politik.
Berbicara demokrasi,
menjadi masalah struktural yang kita temui ketika mengatakan kekuasaan berada
di tangan rakyat, sementara fakta yang terjadi adalah adanya ketidaksetaraan
atau ketidakseimbangan relasi kuasa seperti ketidaksetaraan terhadap perempuan.
Bahasan relasi gender dalam dunia politik menjadi suatu masalah penting dan sangat fundamental yang harus menjadi
perhatian. Dalam dunia politik, permasalahan ketidakseimbangan peran antara
laki-laki dan perempuan dinilai sangat jauh dari kesetaraan. Proses politik
seakan memiliki hijab pembatas bagi perempuan yang ingin terlibat di dalamnya.
Hijab yang menjadi
sekat antara laki-laki dan perempuan dalam dunia politik, dapat kita lihat pada
representasi politik perempuan yang berdampak pada partisipasi kerja perempuan untuk
ikut serta menentukan kebijakan. Sejak era reformasi hingga saat ini, representasi tertinggi mencapai
18,03% saja. Angka tersebut merupakan persentasi yang sangat tidak berimbang
jika melihat jumlah penduduk perempuan yang ada di Indonesia.
Menurut data BPS pada
tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.556.363 orang, jumlah
perempuan sebanyak 118.048.783 orang, yang hampir berimbang dengan populasi
laki-laki berjumlah 119.556.580. Dengan jumlah penduduk yang demikian, tentunya
terdiri dari berbagai kelompok atau kelas sosial yang berbeda-beda, dan memiliki
perbedaan kebutuhan juga perbedaan aspirasi yang harus tersampaikan. Representasi
masing-masing kelompok mestinya dimaksimalkan keberadaannya. Namun nyatanya,
representasi perempuan masih jauh dari persentasi minimum yang diharapkan.
Tataran DPR RI saja, bisa kita lihat persentasi keterwakilan perempuan dalam
dunia politik sejak tahun 1955 hingga 2004, dimana persentasi tertinggi hanya
mencapai 18,03% pada periode jabatan 2009-2014 (sumber:www.kpu.go.id).
Kurangnya representasi
perempuan dalam dunia politik disebabkan oleh dua faktor, pertama faktor
internal berupa kurangnya motivasi diri untuk ikut serta dalam dunia politik,
kurangnya dukungan dari keluarga, dan rendahnya tingkat finansial. Kedua,
faktor eksternal yaitu kebijakan partai-partai politik dan sistem pemilihan
umum. Selain itu, kentalnya budaya patriarki yang masih terasa dengan adanya
persepsi yang menganggap bahwa perempuan hanya pantas menjadi ibu rumah tangga,
atau wacana tempat perempuan adalah di rumah, perempuan tidak perlu menjadi
aktor politik dan sebagaianya, merupakan penyebab kurangnya wakil rakyat
perempuan di parlemen. Di sisi lain, kurangnya kepercayaan kaum perempuan yang
menjadi pemilih saat pemilihan umum (pemilu), terhadap calon legislatif (caleg)
perempuan untuk menjalankan kepemimpinan dalam dunia politik, juga menjadi
penyebab kurangnya kesempatan perempuan menjadi wakil rakyat di parlemen.
Kehadiran perempuan
sebagai wakil rakyat perempuan idealnya tidak hanya bermakna secara kuantitatif
dengan jumlah yang besar, namun kehadiran mereka mampu membawa ide serta
gagasan dalam menentukan kebijakan publik sehingga dapat mewakili kepentingan
kaum perempuan, inilah substansi politik kehadiran (politics of presence), sebagaimana yang dikemukakan oleh Ann
Philips (1998).
Keberadaan politik memiliki kaitan yang sangat
erat dengan aktivitas sehari-hari yang tak lepas dari hak asasi manusia.
Selanjutnya, dalam demokrasi pandangan-pandangan dari kaum perempuan harus menjadi
pertimbangan. Ide dan aspirasi dari kaum perempuan harus diincludekan dalam
keputusan atau kebijakan publik yang akan diberlakukan. Selain itu, perlu
melihat representasi dan partisipasi politik perempuan adalah sebagai hukum
kasualitas, dimana jika representasi perempuan dalam politik meningkat maka
peluang pengaruh dalam penentuan kebijakan publik dari sisi perempuan juga
semakin besar. Hal ini jelas karena kualitas seseorang turut menjadi pertimbangan
yang mendukung dirinya menjadi perwakilan kelompok dalam dunia politik. Oleh
karena itu, keterwakilan perempuan perlu ditingkatkan. Upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan keterwakilan perempuan juga harus berbanding dengan upaya
peningkatan partisipasi kerja perempuan dalam parlemen, dalam hal ini peningkatan
kualitas diri.
Ketika ingin membawa
aspirasi kaum perempuan, tidak hanya partisipasi namun juga representasi.
Walaupun sudah ada undang-undang yang mengatur tentang keterwakilan perempuan 30%
untuk kaum perempuan di lembaga legislatif, namun keterwakilan perempuan masih
sulit mencapai angka 30% kuota minimum. Undang-undang ini juga belum memiliki
sanksi bagi partai politik yang tidak menjalankan aturan tersebut.
Sebagai sarana untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat, prinsip keterwakilan harus terjamin realisasinya.
Keterwakilan perempuan dalam parlemen harus ditingkatkan melalui pemaksimalan
pelaksanaan affirmative action, memperberat
sanksi bagi partai politik yang tidak dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk
perempuan, melakukan pendidikan politik bagi partai politik terkait sistem
pemilu, pendidikan sistem tatanegara dan pemerintahan di Indonesia, cara
membangun citra diri, dan komunikasi politik.
Selain penetapan kuota
minimal 30%, bentuk afirmasi lain yang dapat digunakan dalam upaya peningkatan
jumlah keterwakilan perempuan dalam parlemen adalah reserved seat dan zipper
system. Reserved seat merupakan
penetapan jumlah kursi yang harus ditempati perempuan secara minimal dalam hal
ini setiap 30% setiap daerah pemilihan harus diwakili oleh perempuan. Sedangkan
zipper system dilakukan untuk
memastikan agar perempuan dan laki-laki secara selang-seling tertulis dalam
daftar, sehingga representasi yang ada berimbang antara kaum laki-laki dan perempuan
dalam daftar pencalonan.
Selanjutnya,
meningkatkan partisipasi kerja dalam parlemen. Wakil rakyat perempuan harus
memegang jabatan strategis dalam parlemen, sehingga memiliki pengaruh dalam
penentuan kebijakan. Hal ini dapat terwujud dengan melihat seberapa luas
wawasan dan kualitas wakil rakyat perempuan dalam dunia politik, sehingga
dipercayakan memegang jabatan dan mampu membawa pengaruh. Untuk menghasilkan
pemimpin perempuan yang berkualitas, perempuan harus benar-benar dipersiapkan
untuk menduduki jabatan-jabatan strategis dengan melakukan peningkatan mutu
calon pemimpin perempuan. Sehingga perempuan yang menjadi wakil dari kaumnya
dapat menyampaikan aspirasi, dapat menyuarakan dan membela kepentingan
perempuan, serta tidak hanya menjadi pelangkap untuk memenuhi kuota kursi di
parlemen secara kuantitatif.
Demikian pula dengan
perempuan dan laki-laki yang menjadi pemilih pada pemilu, dalam menentukan
pilihan siapa yang akan menjadi wakil rakyat, yang akan membawa aspirasinya
tidak dapat ditentukan dengan hanya melihat jenis kelamin, kemudian
mengeneralisasi. Namun ada nilai lebih yang harus diperhatikan, yaitu melihat
kualitas diri caleg. Perempuan perlu kiranya diberikan informasi terkait
kondisi obyektif partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik,
informasi tentang hak asasi perempuan, hak politik perempuan, pengetahuan
mengenai peran perempuan dan isu gender dalam politik, informasi mengenai
aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan politik, pentingnya memilih
suatu partai politik dan konsekuensinya.
Terakhir adalah keterlibatan
perempuan dalam dunia politik menjadi tantangan berat untuk kaum perempuan,
dengan beragam budaya patriarki yang menghambat ruang gerak perempuan, dengan
banyaknya stigma masyarakat yang mengatakan bahwa perempuan identik dengan
sektor domestik. Adanya anggapan bahwa dunia politik adalah dunia yang lekat
dengan dunia yang keras, penuh persaingan, sangat membutuhkan rasionalitas dan minim
emosi, yang diidentikkan dengan kaum laki-laki. Sementara, perempuan dianggap
sebagai makhluk yang lemah, yang tak mampu berkontribusi pemikiran, yang tak
pantas bergelut dalam dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kerasnya
dialektika kekuasaan. Sehingga perlu dibangun kesadaran dalam diri, baik
laki-laki maupun perempuan harus membebaskan diri dari belenggu kentalnya
budaya patriarki untuk mewujudkan keadilan dan kedaulatan rakyat.
Kesadaran pentingnya
politik perempuan harus juga dibentuk oleh perempuan-perempuan muda sekarang. Perempuan
milenial tidak boleh buta dengan politik, karena di masa mendatang perempuan
milenial lah yang akan menjadi tongkat estafet penerus pemegang kebijakan
publik. Sehingga perlu untuk meningkatkan kualitas selain ilmu-ilmu yang
didapatkan di bangku perkuliahan, aktif di lembaga organisasi mahasiswa,
diskusi-diskusi permasalahan bangsa, memperbanyak membaca, mempelajari teknik
kepemimpinan, manajemen organisasi, manajemen waktu, ideopolstratak (ideologi,
politik, dan strategi), dan sebagainya yang dibarengi dengan akhlak mulia melalui
lembaga-lembaga organisasi yang ada di lingkungannya. Selain itu, membebaskan
diri dari budaya-budaya patriarki, anggapan-anggapan yang selalu digadang-gadangkan
oleh kaum lelaki misoginis seperti tempat perempuan adalah di rumah, setinggi
apapun pendidikan perempuan karirnya hanya di dapur, merupakan sikap yang harus
dilakukan, minimal berangkat dari pemikiran sendiri, bahwa ada nilai lebih
dengan diciptakannya perempuan di bumi, bahwa perempuan bukan hanya sekadar
wacana-wacana yang digaungkan kaum lelaki misoginis itu, bahwa perempuan bisa
berperan dalam dunia politik, untuk kesejahteraan bangsa. Karena penduduk
Indonesia terdiri dari kaum lelaki dan kaum perempuan, maka untuk kesejahteraan
bersama perlu peran dan partisipasi dari keduanya.