Minggu, 27 September 2020

 "Penawar Vs Penalar"

Dalam hubungan sepasang kekasih, rindu memang hal yang sudah pasti akan hadir melengkapi. Ibarat suatu masakan rindu adalah bumbu, jika tak ada maka hambar rasanya. Terasa menyesakkan namun di waktu yang sama juga mempererat hubungan. 

Seperti yang dialami Zuu pada malam ketiga sejak pertemuan terakhir dengan kekasihnya. Sedari pagi pria idamannya itu tak memberinya kabar. Padahal biasanya setiap pagi, kekasihnya itu tak pernah absen mengiriminya pesan singkat, "love you" atau "Semangat Zeyenk", atau sekadar "emoji love" yang menjadi penyemangat Zuu setiap memulai harinya. Tapi hari ini, tidak. Hingga malam, Zuu harus menghibur hatinya, pergi ke suatu kedai, memesan makanan favoritnya, nasi goreng.

Menunggu pesanan datang, mengotak-atik aplikasi Hp adalah kebiasaan yang sering dilakukan Zuu. Kedai itu masih lumayan ramai bahkan sudah pukul 23.45 WITA. Tapi itu tidak menjadi perhatian utama. Zuu fokus saja ke layar handphone, menekan tombol menu, geser kiri-kanan, lalu menekan tombol kembali. Itu diulang-ulangnya tanpa sadar. 

Berselang beberapa waktu, dari arah yang lain, percakapan pria paruh baya di kedai itu sekonyong-konyong menyita perhatian Zuu. Pria itu tampak ingin membangun percakapan bersama mas bambang, si pemilik kedai, setelah mendengar bersama berita pada suatu saluran televisi di kedai itu. Pria itu sepertinya mencermati berita penanggulangan virus Corona melalui vaksinasi yang dikabarkan masih terus diusahakan pemerintah itu.

"Hedeh, ada vaksin atau tidak sama saja pak. Vaksin itu kan bakteri yang dilemahkan terus dimasukkan ke dalam tubuh. Seperti vaksin cacar. Divaksin tapi yo kita tetap kena juga. Sama saja. Ngapain buang uang banyak-banyak toh kita kena juga" komen pria itu kepada mas Bambang.

Zuu masih menyimak pembicaraan pria itu. Proses pemahaman mas Bambang juga tak menyita waktu lama. Mas Bambang langsung bisa menyimpulkan apa yang disampaikan pria itu.

"Oh iya mending gak usah ya. Pemerintah kok susah-susah", jawab mas Bambang.

Zuu merasa ngeri mendengar dialog antara mas Bambang dengan pembelinya itu. Bagaimana tidak, Zuu adalah mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di kampus ternama di daerah itu. Setidaknya Zuu pernah mempelajari tentang bakteri, virus, hingga vaksin yang disebut-sebut pria itu. Zuu kaget mendengar pernyataan yang tak sesuai pemahamannya. Menurut Zuu, itu bukan hanya menyesakkan, tapi juga menyakitkan. Rindu mungkin bisa ditunggu, tapi tidak dengan dungu. Ah, Zuu ingin menyampaikan apa yang bersarang di kepalanya saat itu. Tapi ia merasa tidak yakin.

Ingin saja ia jelaskan kepada pria itu bahwa vaksin memang senyawa yang didalamnya terdapat mikroba atau virus penyebab suatu penyakit, yang sudah mati atau dilemahkan. Saat vaksin masuk ke dalam tubuh, kekebalan tubuh akan melihatnya sebagai antigen atau musuh. Sebagai respon adanya musuh, maka tubuh akan memproduksi antibodi untuk melawannya. Pada proses itu akan banyak antibodi yang rusak, tapi sel-sel kekebalan tubuh akan tetap tumbuh dan merekam baik model musuh saat itu. Sehingga jika suatu saat, tubuh bertemu musuh (penyakit) yang sama maka sel-sel tersebut akan menghasilkan antibodi dengan cepat untuk melawan musuh. Singkatnya seperti suatu latihan, agar kekebalan tubuh tetap sigap bila suatu saat nanti ada musuh. 

Vaksin memang bukan menyembuhkan penyakit. Vaksin itu mencegah atau menghindari tubuh dari penyakit. Orang-orang divaksin bukan berarti terbebas dari penyakit, tapi dampak dari penyakit itu bisa diminimalisir. 

"Jadi kalau masnya divaksin cacar, bukan berarti gak bisa kena cacar. Bergantung lagi pada kekebalan tubuhnya. Kalaupun kena, bentol-bentolnya yah gak separah ketika tubuh gak divaksin mas", gerutu Zuu dalam hati.

Zuu merasa tidak yakin untuk menjelaskan semuanya pada pria itu. Zuu terlalu khawatir apa yang disampaikannya nanti tidak mudah dipahami mas Bambang dan pembelinya. 

Zuu juga khawatir pemikiran pria itu akan tertular kepada yang lainnya. Bukan apa-apa pikir Zuu, saat ini wacana menciptakan vaksin corona sedang digiatkan. Jika nanti vaksin Corona ditemukan, pemerintah mungkin belum bisa senang. Vaksin Corona ditemukan, tapi masyarakat tak mau divaksin. Susah juga, kan? Harus diedukasi lagi. Siapa dong yang bertanggungjawab.?


Pemerintah?

Ah, nambah kerjaan pemerintah ajeee  


Dahlah, Zuu mengambil pesanannya lalu melaju dengan sepeda motor biru miliknya..

Kamis, 17 September 2020

 HMI Wati harus Mampu Beradaptasi Apalagi di Masa Pandemi

Sejak hadirnya pandemi covid-19 di Indonesia tepatnya pada Maret 2020 lalu, seluruh aktivitas masyarakat seperti dilumpuhkan. Tatanan kehidupan berubah. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang guyub, suka berkumpul, dan suka bersalaman kini harus dihindari.

Banyak korban berjatuhan akibat virus kecil tak kasat mata namun mematikan ini. Masyarakat bahkan pemerintah seolah tak siap akan hal tersebut. Segala aktivitas, belajar, bekerja, bahkan beribadah diatur oleh pemerintah, untuk dilaksanakan di rumah. Untuk menekan laju penyebaran virus ini pemerintah juga menerapkan standar protokol kesehatan.  Masyarakat dilarang berkumpul dan harus menjaga jarak serta memakai masker jika harus terpaksa keluar rumah. Aktivitas di luar yang biasa dilakukan  masyarakat harus dibatasi, beralih sistem interaksinya dalam jaringan bahkan ada yang berhenti. Tak terkecuali aktivitas KOHATI.

Harus diakui, aktivitas KOHATI sejak hadirnya pandemi ini terganggu keberlangsungannya, mulai dari kajian-kajian yang biasa dilaksanakan sampai adegan turun ke jalan. Tapi bukankah KOHATI mampu beradaptasi?

Eh jangan salah paham, KOHATI tidak akan mampu beradaptasi kalau HMI Wati sendiri tidak mampu melakukan itu. "Jayalah Kohati" mungkin memang hanya akan sebatas tagline kalau HMI Wati tidak melek terhadap perubahan. Di masa pandemi dengan segala ketidakjelasan berakhirnya ini, berhenti melakukan aktivitas sama dengan memilih menyerah dan bunuh diri. HMI Wati tidak boleh diam sambil hanya menggantungkan harapan agar dunia bisa pulih kembali. Karena KOHATI sebagai rahim peradaban, pembina dan pendidik generasi muda untuk menegakkan nilai Keislaman dan Keindonesiaan, maka HMI Wati tidak boleh berhenti. HMI Wati harus terus memberdayakan diri, menguasai ilmu agama, IPTEK serta meningkatkan keterampilan.

Suatu hal yang tetap patut disyukuri, sebelum maupun hingga saat ini pandemi terjadi, perkembangan teknologi begitu pesat. Sehingga banyak aktivitas yang memerlukan interaksi sosial sebagaimana ketika pra-pandemi, dapat dilangsungkan  dengan sistem dalam jaringan (daring) atau virtual sebagai penanda kecanggihan teknologi dan sekaligus menegaskan peran pentingnya pada kondisi saat ini. Maka dengan fasilitas yang ada, HMI Wati harusnya menjadi panutan para perempuan lain dalam memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitasnya.

Sayangnya, tidak seluruhnya demikian. Belum selesai memaknai fitrahnya sebagai HMI Wati kini harus beradaptasi dengan kondisi pandemi. (Kasian)

Dizaman teknologi ini baiknya HMI Wati pandai memanfaatkan media dan aplikasi untuk meningkatkan kualitas, menambah wawasan dan memberdayakan diri. Banyak media yang dapat dijangkau untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Baik media massa maupun media sosial banyak menyajikan hal-hal demikian. Tentu bergantung pula pada HMI Wati sendiri, bagaimana pemanfaatannya. 

Jika penggunaan media sosial hanya untuk menyaksikan tayangan/postingan alay pasangan nikah muda atau pasangan ambyar ditinggal nikah, hingga HMI Wati merasa baper, uwu, pengen nikah, mati dan sebagainya, maka pupuslah sudah harapan KOHATI.

Aplikasi juga demikian. Kajian atau pertemuan yang biasanya dilaksanakan sebelum pandemi bisa dilangsungkan secara virtual menggunakan beberapa aplikasi, diantaranya Tik tok.

Lah, kok..? Bukan.

Google meet, zoom dan sebagainya bisa menunjang keberlangsungan aktivitas para HMI Wati.




 "Selamat Milad ke-54 tahun KOHATI. Wadah pencetak, madrasah pertama manusia - Pengawal Panji Islam"